by reshakusumosyahrir
Peron jalur 6 dan 7, Stasiun Bogor, pada pagi hari yang segar. Burhan, sebut saja demikian namanya. Pria setengah baya, dengan kemeja dan celana bahan rapi serta tas punggung menempel di lengan kirinya, ia merogoh kantung di sebelah kiri kemejanya dan mengeluarkan secarik uang Rp 1.000,-. Lalu ia berucap, "Bang!". Dengan segera, seseorang dengan rompi warna-warni dan menggendong tas berisi penuh jajanan datang. Burhan pun kembali berucap, "Pilter bang!", seraya menyodorkan secarik uang tadi. Dengan sesegera mungkin, pria rompi warna-warni memberikan sebatang rokok yang dipesan. Pria rompi warna warni pun berucap "Yo! Makasih Bos!" (sapaan untuk langganan), sambil berlalu dan kembali melompat ke peron-peron berikutnya. Burhan menyelipkan batang tadi diantara bibir keringnya, merogoh saku celana dan mengeluarkan pemantik tuanya. "Crek... Crek... Crekk.. Jresss!" pemantik itupun mengeluarkan api, dan Burhan langsung membakar ujung batang rokok tadi sambil beberapa kali menghisap pendek rokok tadi, agar tercipta bara di ujungnya. Menit berganti menit, dia terus menghisap dalam-dalam rokoknya dan membumbungkan asap-asap kelabu ke angkasa. Setelah dirasa terlalu pendek, dia buang batang tersebut dengan bara yang masih menyala, ke tempat sampah.
Syu'aeb, kembali sebut saja demikian. Seorang pria dengan dandanan sederhana, dengan kaos polo shirt sisa impor, dan celana bahan lusuh, serta topi bertuliskan inisialnya, berdiri di gerbong ke empat KRL Jakarta - Bogor tepat di jalur 7. Tiba-tiba, seorang tuna rungu, melompat dari gerbong tiga ke gerbong empat, dan kembali bernyanyi melanjutkan dendangannya dari gerbong tiga. Dengan penuh percaya diri ia bernyanyi, tanpa mempedulikan apa pendapat para penumpang yang melihatnya. Setelah ia merasa cukup berdendang, ia menyodorkan tangan kurusnya yang kotor ke para penumpang. Dia terus melakukannya sepanjang gerbong empat, dan mendekati Syu'aeb. Syu'aeb dengan perlahan merogoh saku kanan celana bahannya, dan mengeluarkan secarik uang Rp 1.000,-. Tibalah giliran Syu'aeb. Sang tuna rungu pun menyodorkan tangannya ke arah Syu'aeb, dan Syu'aeb memberikan secarik uang tadi. Gerbong empat adalah akhir dari suatu set KRL, sang tuna rungu melompat ke pintu paling ujung, dan berlari ke arah ibu-ibu penjual nasi uduk dan berbagai gorengan di jalur tujuh. Tuna rungu mengambil dua bungkus buras (lontong dengan isi oncom atau wortel) dari deretan dagangannya, dan langsung memberi secarik uang Rp 1.000,- tadi. Dengan lahap ia menyantap lontong tadi satu per satu.
Itu semua adalah pilihan. Pilihan yang kadang terjadi dalam hidup kita. Sebuah ironi yang menyedihkan. Di saat kita bisa membantu saudara kita untuk mengisi peurnya, terkadang kita malah membakar kertas dan menghisap racun-racunnya ke paru-paru kita. Ayo saudara-saudaraku, kita mulai ubah pola pikir, dan jadi lebih peduli pada orang-orang di sekitar kita.